Sabtu, 10 Mei 2014

Stand By Me, film Doraemon terakhir

Stand By Me, film 3D pertama dan terakhir Doraemon



Film yang akan dipasarkan di Jepang pada 8 Agustus 2014 mendatang ini mungkin bakal menyedihkan bagi penggemar Doraemon di seluruh dunia. Film dalam bentuk tiga dimensi ini memang menjadi perpisahan di antara dua tokoh utama, Nobita dan Doraemon, robot kucing yang memiliki kantong ajaib. Dalam kisah itu, cerita akan bergelut seputar tema tokoh utama yang beranjak dewasa dan mulai meninggalkan masa kanak-kanak.
Film tiga dimensi yang dilengkapi teknologi CG terkini ini merupakan film ke-36 untuk Doraemon. Sebelumnya film-film Doraemon yang ditayangkan setiap masa liburan sekolah di Jepang selalu dalam bentuk dua dimensi saja. 

Contoh Cerpen

Sepucuk Surat Untuk Kakak 
“Ayo cepat, Aqila!”                    
“Iya, Kak! Tunggu aku!”
Aku berjalan lebih cepat dengan menggunakan tongkat penunjuk jalan. Aku mencoba mencari sumber suara Kak Praya di antara keramaian agar aku tak kehilangan  Kak Praya, karena Kak Praya adalah satu-satunya orang yang bisa membawaku kembali pulang ke rumah.
“Kak, Kakak dimana?!?”
“Aku ada di depanmu, Aqila!” timpal Kak Praya.
Aku tersenyum dan berkata, “Aku pikir Kakak akan meninggalkan aku.”
“Makannya, lain kali kamu gak usah ikut pergi ke Mall sama Kakak! Jadinya repot kan? Udah tahu buta, pengen ikut ke Mall yang ramai begini! Sedikit saja kamu lengah, kamu gak akan bisa nemuin Kakak!” kata Kak Praya dengan nada kesal.
“Iya Kak, aku minta maaf. Tadinya, aku hanya ingin menemani Kakak. Aku khawatir kalau Kakak pergi sendirian ke Mall,” jelasku.
“Aku juga udah besar kali, Aqila! Gak perlu ditemenin. Kamu sih, bisanya cuma ngerepotin orang!” ujar Kak Praya.
Kak Praya memang membenciku. Ia tak menginginkan aku ada di dunia ini. Ia tak ingin mempunyai adik yang buta sepertiku.Kak Praya selalu bersikap kasar padaku. Tapi, walaupun begitu aku sangat menyayangi Kak Praya. Dan jauh di dalam hati Kak Praya, dia juga pasti menyayangiku.
Kecelakaan lima tahun yang lalu membuatku menjadi buta seperti ini. Waktu itu, aku sedang menaiki mobil yang disopiri Mama. Dalam perjalanan, tahu-tahu ada mobil nyelonong dari arah yang berlawanan. Mama langsung membanting setir. Mobil kami keluar jalur lalu menabrak pohon. Aku pingsan entah berapa lama. Saat aku sadar, semua menjadi gelap. Dokter bilang, aku mengalami kebutaan karena benturan yang sangat keras. Awalnya, aku sedih. Aku juga bingung.Tapi, aku tak pernah menyalahkan semua orang. Aku tak pernah menyalahkan mobil yang menabrak dan tak pernah menyalahkan Mama yang mengajakku belanja. Semua ini merupakan takdir Tuhan.
Awal mula-nya, hubunganku dan Kak Praya baik-baik saja. Kami menjadi sepasang adik-kakak yang harmonis. Apalagi sejak aku buta, Kak Praya rajin mendongengkanku berbagai cerita yang membuatku takjub. Hingga akhirnya, saat Kak Praya pulang dari sekolah, ia tak seperti biasanya. Ia tak pernah menceritakan dongeng lagi untukku dan Kak Praya menjadi acuh padaku. Kak Praya makin membenciku ketika Mama tak membelikan apa yang Kak Praya mau. Sedangkan aku, selalu dituruti keinginannya oleh Mama. Sejak saat itulah, kebencian Kak Praya padaku semakin menjadi-jadi.
 “Udahlah, ayo kita pulang!” ajak Kak Praya menyadarkan lamunanku.
“Iya, Kak,”
Setibanya di rumah ....
“Assalamualaikum ....”
“Waalaikumussalam .... “ jawab Mama sambil membukakan pintu rumah. “ Eh, kalian sudah pulang. Ayo masuk! Mama sudah siapkan makanan buat kalian. Kalian pasti lapar kan sehabis jalan-jalan?”
“ O ya, Ma, aku belikan ini buat Mama.” Kataku sambil menyodorkan sebatang coklat yang kubeli tadi di Mall. “Semoga Mama suka ya,”
Mama kemudian mengambilnya,“Terimakasih ya, Aqila!” kata Mama berterimakasih.
“Gak usah sok cari perhatian, deh!!” ledek Kak Praya sinis.
“Praya! Mama gak suka kamu bersikap kasar pada Aqila! Aqila itu adikmu ....”
“Dia bukan adik aku!!!” Kak Praya memotong kalimat Mama. Aku kemudian mendengar Kak Praya masuk ke dalam rumah dengan suara hentakkan kaki yang keras.
Mama terdiam sejenak. Kemudian Mama memelukku dan berkata, “Aqila, maafkan Kakakmu ya!”
“Iya, Ma. Aku sudah memaafkan Kak Praya,” jawabku tersenyum. Aku tak pernah sakit hati ataupun dendam jika Kak Praya bersikap seperti itu padaku.
“ Sekarang, kita masuk yuk! Kita makan ...”
***
            ting-tong-ting-tong ...
Aku mendengar suara bel rumah berbunyi. Aku lalu bergegas untuk membukakan pintu. Aku meraba-raba mencari pegangan pintu. Hingga akhirnya, aku menemukannya dan menariknya sehingga pintu terbuka.
“Siapa itu?” tanyaku setelah pintu terbuka.
“Ini aku, Alsha!” jawab seseorang itu yang ternyata Alsha. Alsha adalah sahabatku sedari kecil, sebelum aku buta. Alsha masih mau menjadi sahabatku meskipun aku sudah buta.
“Alsha! Mari masuk,” kataku mempersilakan masuk.
“Iya, baiklah ...”
“O, ya, kita jadi kan pergi ke rumah sakit?” tanya Alsha.
“Aduh, hampir saja aku lupa! Iya, jadi kok! Yuk, kita berangkat sekarang,” ajakku.
Aku dan Alsha kemudian segera pergi menuju rumah sakit dengan diantar oleh sopirku, Pak Gilang. Sesampainya di rumah sakit ...
Aku dan Alsha berjalan menuju ruangan terbuka. Alsha membantu menuntunku untuk sampai ke ruangan tersebut. Ruangan itu adalah ruangan khusus untuk bercerita. Aku dan Alsha biasa mendongengkan cerita pada pasien anak-anak penyandang cacat di rumah sakit milik Papa-ku ini.
Aku mendengar suara kegaduhan di dalam ruangan itu. Pasti, anak-anak sudah berkumpul disana. Dan ternyata benar, mereka langsung menyambutku dan Alsha. Rupanya, mereka tak sabar untuk mendengar dongeng yang akan aku dan Alsha ceritakan.
Aku dan Alsha pun mulai bercerita. Kami bercerita tentang putri berambut panjang, Rapunzel. Cerita itu sangat kusukai saat aku masih kecil. Saat kami bercerita, ruangan itu tampak tenang. Itu artinya, anak-anak itu mendengarkan dengan tekun. Jika memang begitu, aku senang sekali.
Beberapa lama kemudian ...
Nah, sekian dulu cerita hari ini. Kalian kembali ke tempat tidur dan kamar masing-masing. Besok sore, Kakak berdua akan datang lagi bercerita dengan kalian,” kataku pada anak-anak itu.
Terdengar suara anak-anak yang kecewa. Setelah itu, aku mendengar suara langkah kaki anak-anak itu keluar dari ruangan. Aku lalu berdiri. Setelah itu, aku mengeluarkan tongkat lipat dari tas kecilku. Aku pun berjalan dengan menggunakan tongkat menuju pintu keluar. Alsha pun membantu menuntunku.
Tetapi, tiba-tiba saja, kepalaku terasa sakit dan pusing. Aku pun merasakan sesuatu yang keluar dari hidungku. Apa yang terjadi? pusing dan sakit di kepalaku semakin menjadi-jadi dan ...
Bruk!
***
1 bulan kemudian ...
            Aku bersyukur masih diberi kesempatan hidup di dunia. Ya, meskipun hidupku tak mungkin lama lagi. Sisa hidupku pun bisa dihitung dengan jari saja. Aku terkena kanker parah yang tak mungkin bisa disembuhkan. Ini memang sangat berat. Tapi tak apalah, toh semua manusia di dunia ini juga pasti akan mengalami yang namanya kematian.
            Pagi hari ini, aku sedang menyiapkan kado untuk perayaan ulang tahun Kak Praya malam hari nanti. Alsha juga menemaniku dan membantuku membungkus kado untuk ulang tahun Kak Praya nanti. Semoga saja, Kak Praya senang dengan kado pemberianku.
            Malam hari pun tiba. Perayaan ulang tahun Kak Praya sepertinya sangat menyenangkan dan ramai, aku bisa mendengar dari para tamu yang hadir di perayaan ulang tahun Kak Praya, mereka tertawa bahagia.
            Disaat para tamu sudah pulang, aku segera memberikan kado-ku pada Kak Praya. Mama dan Papa juga turut memberikan kado-nya pada Kak Praya.
            “Kak, ini kado dari-ku,” kataku sambil menyodorkan kado ke arah Kak Praya. Kak Praya kemudian mengambilnya.
            “Jangan lupa di buka ya, Kak!” pesanku.
            “Kapan-kapan aja deh, ya! Aku sibuk!” kata Kak Praya ketus.
            “Praya! Kamu gak seharusnya bersikap seperti itu sama adik kamu!!” sentak Papa.
            “Dia bukan adik aku, Pa!!” jawab Kak Praya.
            “Praya!!”
            “Sudah Pa, tidak apa-apa. Mungkin Kak Praya memang sibuk. Kak Praya kan tadi dapat banyak kado dari teman-temannya,” ujarku menenangkan Papa.
            “Sok ngebela!” sindir Kak Praya padaku.
            “Praya! Sikap kamu udah benar-benar keterlaluan. Mama dan Papa tidak pernah mengajarkan begitu pada kamu. Kenapa sifat kamu berubah Praya? Dulu kamu sangat menyayangi adik kamu. Tapi sekarang, kamu sangat membencinya. Kenapa? Apa salah dia sama kamu Praya?” tanya Mama.
            “Salah dia?!? Dia itu buta. Aku malu punya adik buta seperti Aqila! teman-temanku sering mengejekku karena adikku buta, Ma. Mama dan Papa juga lebih menyayangi Aqila daripada aku,” jawab Kak Praya.
            “Mama lebih menyayangi Aqila karena ...”
            “Sudah, Ma. Aku tidak apa-apa kok! Jadi Mama dan Papa gak usah memarahi Kak Praya.” aku memotong perkataan Mama sebelum Mama mengatakan semua pada Kak Praya tentang kenapa Mama lebih menyayangiku daripada Kak Praya. Aku tak mau Kak Praya tahu kalau aku mengidap penyakit kanker.
            “Aku benci semuanya!!!” teriak Kak Praya sambil beranjak pergi.
            “Aqila, sabar ya! Mama tidak tahu harus berbuat apa lagi agar Kak Praya tidak berbuat seperti itu lagi pada kamu,”
            “Tidak apa-apa Ma. Kak Praya benar, aku memang membuat Kak Praya malu. Dia jadi dijauhi oleh teman-temannya gara-gara punya adik buta sepertiku. Semua ini salahku, Ma ..”
            “Tidak, Qila! Ini bukan salah siapa-siapa. Kamu ingat kan, apa yang kamu katakan pada Mama waktu itu?” timpal Mama.
            Aku mengangguk. “Iya Ma. Semua ini bukan salah siapa-siapa. Semua ini merupakan takdir Tuhan,”
            Aku merasakan Mama dan Papa memelukku hangat. mungkin ini adalah pelukan Papa dan Mama yang terakhir kali untukku ...
***
            Dua hari telah berlalu, saat ini aku sedang berada di taman bersama Alsha. Alsha bilang, matahari hampir terbenam. Tapi, aku tak ingin beranjak pergi dari taman ini. Kemarin, Papa bilang padaku bahwa aku akan segera mendapat donor kornea mata. Ah, tapi hidupku juga sudah tidak lama lagi.
            “Alsha, maukah kamu menuliskan surat untukku?” pintaku.
            “Untuk apa?” tanya Alsha.
            “Aku akan memberikannya pada Kak Praya,” jawabku.
            “Baiklah ...”
            Surat selesai ditulis. Alsha terdiam beberapa lama. Ia kemudian memelukku dan ia menangis di pelukanku.
            “Kenapa kamu menangis?” tanyaku keheranan.
            “A-aku t-takut kehilangan kamu,” jawab Alsha tersedu-sedu.
            Tak sadar aku pun meneteskan air mata. Aku pun memeluk Alsha lebih erat lagi. Kini, tibalah saatnya untuk aku pergi dari dunia ini ...
            “Bilang pada orangtuaku dan Kak Praya bahwa aku menyayangi mereka. Dan tolong, Ikhlaskan aku ya ...”
            “Aqila!! kamu kenapa?!? Aqila, bangun!!!”
            Sementara itu ....
            Kak Praya baru saja pulang dari rumah temannya. Rumah tampak sepi. Tak ada siapapun disana.
            “Ma, Pa, kalian dimana?Ma,Pa?Aqila?” panggil Kak Praya berulang kali.
            Karena tak ada yang menjawab, Kak Praya pun masuk ke dalam kamarnya. Ia melemparkan dirinya ke tempat tidurnya. Kemudian, ia teringat akan kado yang diberikan Aqila padanya.
            “Aku penasaran juga, isi kado dari  Aqila,” gumam Kak Praya.
            Kak Praya kemudian membukanya. Ia tercengang melihat isi kado pemberian dari Aqila. Di dalamnya, terdapat sebuah gelas kaca bertuliskan ‘Aqila&Kak Praya’, dan foto-foto semasa kecil Aqila dan Kak Praya.
            “Ternyata, Aqila masih menyimpannya ...”
            KRINGGG ... KRINGGG ...
            Telepon rumah berbunyi. Kak Aqila kemudian bergegas dan segera mengangkat telepon-nya. Ternyata itu dari Mama.
            “Halo ...”
            “Halo, Praya. Syukurlah kamu sudah pulang. Sekarang cepat kamu ke Rumah Sakit Papa. Lalu, setelah itu masuk ke ruangan nomor 306 lantai 2,”
            “Ke Rumah Sakit Papa, ada apa Ma? Dan kenapa Mama menangis?”
            “Aqila .... me-, ah pokoknya kamu harus segera kesini,”
            “I-iya, aku kesana sekarang.”
            Tut ... tut ... tut ...
            Sesampainya di Rumah Sakit di ruangan nomor 306 lantai 2 ...
            Kak Praya bertemu dengan Mama di pintu ruangan nomor 306 di lantai 2. Mama langsung memeluk erat Kak Praya sambil menangis tersedu-sedu.
            “Sebenarnya, ada apa Ma?” tanya Kak Praya keheranan.
            “Aqila meninggal, Praya!” jawab Mama gemetar.
            “A-apa?Aqila meninggal? Tapi kenapa, Ma?” tanya Kak Aqila lagi dengan tak percaya.
            “Sebenarnya, sejak satu bulan yang lalu dia mengidap kanker parah di otaknya. Dokter memvonis, umurnya tidak lama lagi. Dan mungkin sekarang tibalah waktunya untuk Aqila pergi ...” kata Mama tak melanjutkan perkataannya karena tak kuat menahan air mata.
            “Tapi kenapa, Mama tak pernah memberitahukan aku kalau Aqila mengidap penyakit kanker?” kata Kak Praya.
Sementara itu, Mama tak menjawabnya. Mama hanya diam saja sambil terus menangis mengingat Aqila yang sudah tiada di dunia ini.
            “Sekarang, jasad Aqila ada dimana, Ma?” sambung Kak Praya. 
            “Jasadnya, masih ada di ruangan ini,”
            Kak Praya masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa. Dia melihat Aqila sudah tak bernyawa lagi di atas tempat tidur.Kak Praya memeluk Aqila sambil menangis. Kak Praya menyesal atas apa yang sudah dia lakukan selama ini pada Aqila.
            Kemudian, Alsha datang. Alsha memberikan surat dari Aqila kepada Kak Praya.
            “Apa ini?” tanya Kak Praya.
            “Ini surat dari Aqila sebelum dia meninggal. Dia memintaku untuk menuliskan surat ini,”
            Kak Praya membacanya sambil menangis. Isi-nya seperti ini :
Dear Kakakku yang kusayang ....
Saat Kakak membaca surat ini mungkin aku tidak ada lagi di dunia ini. Kak, maafkan aku ya, karena aku selalu membuat Kakak kesal dan jengkel. Aku tahu, Kakak membenciku. Tapi sampai kapanpun, aku tidak akan pernah membenci Kakak, karena Kakak adalah hadiah terindah yang tuhan berikan buatku. Aku sayang Kakak ...
Dari Adikmu, Aqila.
           
           








“Maafkan Kakak, Aqila ...”