Sepucuk
Surat Untuk Kakak
“Ayo cepat, Aqila!”
“Iya, Kak! Tunggu aku!”
Aku berjalan lebih cepat dengan menggunakan tongkat penunjuk jalan.
Aku mencoba mencari sumber suara Kak Praya di antara keramaian agar aku tak
kehilangan Kak Praya, karena Kak Praya
adalah satu-satunya orang yang bisa membawaku kembali pulang ke rumah.
“Kak, Kakak dimana?!?”
“Aku ada di depanmu, Aqila!” timpal Kak Praya.
Aku tersenyum dan berkata, “Aku pikir Kakak akan meninggalkan aku.”
“Makannya, lain kali kamu gak usah ikut pergi ke Mall sama Kakak!
Jadinya repot kan? Udah tahu buta, pengen ikut ke Mall yang ramai begini!
Sedikit saja kamu lengah, kamu gak akan bisa nemuin Kakak!” kata Kak Praya
dengan nada kesal.
“Iya Kak, aku minta maaf. Tadinya, aku hanya ingin menemani Kakak.
Aku khawatir kalau Kakak pergi sendirian ke Mall,” jelasku.
“Aku juga udah besar kali, Aqila! Gak perlu ditemenin. Kamu sih,
bisanya cuma ngerepotin orang!” ujar Kak Praya.
Kak Praya memang membenciku. Ia tak menginginkan aku ada di dunia
ini. Ia tak ingin mempunyai adik yang buta sepertiku.Kak Praya selalu bersikap
kasar padaku. Tapi, walaupun begitu aku sangat menyayangi Kak Praya. Dan jauh
di dalam hati Kak Praya, dia juga pasti menyayangiku.
Kecelakaan lima tahun yang lalu membuatku menjadi buta seperti ini.
Waktu itu, aku sedang menaiki mobil yang disopiri Mama. Dalam perjalanan, tahu-tahu
ada mobil nyelonong dari arah yang berlawanan. Mama langsung membanting setir.
Mobil kami keluar jalur lalu menabrak pohon. Aku pingsan entah berapa lama.
Saat aku sadar, semua menjadi gelap. Dokter bilang, aku mengalami kebutaan
karena benturan yang sangat keras. Awalnya, aku sedih. Aku juga bingung.Tapi,
aku tak pernah menyalahkan semua orang. Aku tak pernah menyalahkan mobil yang
menabrak dan tak pernah menyalahkan Mama yang mengajakku belanja. Semua ini
merupakan takdir Tuhan.
Awal mula-nya, hubunganku dan Kak Praya baik-baik saja. Kami
menjadi sepasang adik-kakak yang harmonis. Apalagi sejak aku buta, Kak Praya
rajin mendongengkanku berbagai cerita yang membuatku takjub. Hingga akhirnya,
saat Kak Praya pulang dari sekolah, ia tak seperti biasanya. Ia tak pernah
menceritakan dongeng lagi untukku dan Kak Praya menjadi acuh padaku. Kak Praya
makin membenciku ketika Mama tak membelikan apa yang Kak Praya mau. Sedangkan
aku, selalu dituruti keinginannya oleh Mama. Sejak saat itulah, kebencian Kak
Praya padaku semakin menjadi-jadi.
“Udahlah, ayo kita pulang!”
ajak Kak Praya menyadarkan lamunanku.
“Iya, Kak,”
Setibanya di rumah ....
“Assalamualaikum ....”
“Waalaikumussalam .... “ jawab Mama sambil membukakan pintu rumah.
“ Eh, kalian sudah pulang. Ayo masuk! Mama sudah siapkan makanan buat kalian.
Kalian pasti lapar kan sehabis jalan-jalan?”
“ O ya, Ma, aku belikan ini buat Mama.” Kataku sambil menyodorkan
sebatang coklat yang kubeli tadi di Mall. “Semoga Mama suka ya,”
Mama kemudian mengambilnya,“Terimakasih ya, Aqila!” kata Mama
berterimakasih.
“Gak usah sok cari perhatian, deh!!” ledek Kak Praya sinis.
“Praya! Mama gak suka kamu bersikap kasar pada Aqila! Aqila itu
adikmu ....”
“Dia bukan adik aku!!!” Kak Praya memotong kalimat Mama. Aku
kemudian mendengar Kak Praya masuk ke dalam rumah dengan suara hentakkan kaki
yang keras.
Mama terdiam sejenak. Kemudian Mama memelukku dan berkata, “Aqila,
maafkan Kakakmu ya!”
“Iya, Ma. Aku sudah memaafkan Kak Praya,” jawabku tersenyum. Aku
tak pernah sakit hati ataupun dendam jika Kak Praya bersikap seperti itu
padaku.
“ Sekarang, kita masuk yuk! Kita makan ...”
***
ting-tong-ting-tong
...
Aku mendengar suara bel rumah berbunyi. Aku lalu bergegas untuk
membukakan pintu. Aku meraba-raba mencari pegangan pintu. Hingga akhirnya, aku
menemukannya dan menariknya sehingga pintu terbuka.
“Siapa itu?” tanyaku setelah pintu terbuka.
“Ini aku, Alsha!” jawab seseorang itu yang ternyata Alsha. Alsha adalah
sahabatku sedari kecil, sebelum aku buta. Alsha masih mau menjadi sahabatku
meskipun aku sudah buta.
“Alsha! Mari masuk,” kataku mempersilakan masuk.
“Iya, baiklah ...”
“O, ya, kita jadi kan pergi ke rumah sakit?” tanya Alsha.
“Aduh, hampir saja aku lupa! Iya, jadi kok! Yuk, kita berangkat
sekarang,” ajakku.
Aku dan Alsha kemudian segera pergi menuju rumah sakit dengan
diantar oleh sopirku, Pak Gilang. Sesampainya di rumah sakit ...
Aku dan Alsha berjalan menuju ruangan terbuka. Alsha membantu
menuntunku untuk sampai ke ruangan tersebut. Ruangan itu adalah ruangan khusus
untuk bercerita. Aku dan Alsha biasa mendongengkan cerita pada pasien anak-anak
penyandang cacat di rumah sakit milik Papa-ku ini.
Aku mendengar suara kegaduhan di dalam ruangan itu. Pasti,
anak-anak sudah berkumpul disana. Dan ternyata benar, mereka langsung
menyambutku dan Alsha. Rupanya, mereka tak sabar untuk mendengar dongeng yang
akan aku dan Alsha ceritakan.
Aku dan Alsha pun mulai bercerita. Kami bercerita tentang putri
berambut panjang, Rapunzel. Cerita itu sangat kusukai saat aku masih kecil.
Saat kami bercerita, ruangan itu tampak tenang. Itu artinya, anak-anak itu
mendengarkan dengan tekun. Jika memang begitu, aku senang sekali.
Beberapa lama kemudian ...
“Nah, sekian dulu cerita hari ini. Kalian
kembali ke tempat tidur dan kamar masing-masing. Besok sore, Kakak berdua akan
datang lagi bercerita dengan kalian,” kataku pada anak-anak itu.
Terdengar suara anak-anak yang kecewa. Setelah itu, aku mendengar
suara langkah kaki anak-anak itu keluar dari ruangan. Aku lalu berdiri. Setelah
itu, aku mengeluarkan tongkat lipat dari tas kecilku. Aku pun berjalan dengan
menggunakan tongkat menuju pintu keluar. Alsha pun membantu menuntunku.
Tetapi, tiba-tiba saja, kepalaku terasa sakit dan pusing. Aku pun
merasakan sesuatu yang keluar dari hidungku. Apa yang terjadi? pusing dan sakit
di kepalaku semakin menjadi-jadi dan ...
Bruk!
***
1 bulan kemudian ...
Aku
bersyukur masih diberi kesempatan hidup di dunia. Ya, meskipun hidupku tak
mungkin lama lagi. Sisa hidupku pun bisa dihitung dengan jari saja. Aku terkena
kanker parah yang tak mungkin bisa disembuhkan. Ini memang sangat berat. Tapi
tak apalah, toh semua manusia di dunia ini juga pasti akan mengalami
yang namanya kematian.
Pagi
hari ini, aku sedang menyiapkan kado untuk perayaan ulang tahun Kak Praya malam
hari nanti. Alsha juga menemaniku dan membantuku membungkus kado untuk ulang
tahun Kak Praya nanti. Semoga saja, Kak Praya senang dengan kado pemberianku.
Malam
hari pun tiba. Perayaan ulang tahun Kak Praya sepertinya sangat menyenangkan
dan ramai, aku bisa mendengar dari para tamu yang hadir di perayaan ulang tahun
Kak Praya, mereka tertawa bahagia.
Disaat
para tamu sudah pulang, aku segera memberikan kado-ku pada Kak Praya. Mama dan
Papa juga turut memberikan kado-nya pada Kak Praya.
“Kak,
ini kado dari-ku,” kataku sambil menyodorkan kado ke arah Kak Praya. Kak Praya
kemudian mengambilnya.
“Jangan
lupa di buka ya, Kak!” pesanku.
“Kapan-kapan
aja deh, ya! Aku sibuk!” kata Kak Praya ketus.
“Praya!
Kamu gak seharusnya bersikap seperti itu sama adik kamu!!” sentak Papa.
“Dia
bukan adik aku, Pa!!” jawab Kak Praya.
“Praya!!”
“Sudah
Pa, tidak apa-apa. Mungkin Kak Praya memang sibuk. Kak Praya kan tadi dapat
banyak kado dari teman-temannya,” ujarku menenangkan Papa.
“Sok
ngebela!” sindir Kak Praya padaku.
“Praya!
Sikap kamu udah benar-benar keterlaluan. Mama dan Papa tidak pernah mengajarkan
begitu pada kamu. Kenapa sifat kamu berubah Praya? Dulu kamu sangat menyayangi
adik kamu. Tapi sekarang, kamu sangat membencinya. Kenapa? Apa salah dia sama
kamu Praya?” tanya Mama.
“Salah
dia?!? Dia itu buta. Aku malu punya adik buta seperti Aqila! teman-temanku
sering mengejekku karena adikku buta, Ma. Mama dan Papa juga lebih menyayangi
Aqila daripada aku,” jawab Kak Praya.
“Mama
lebih menyayangi Aqila karena ...”
“Sudah,
Ma. Aku tidak apa-apa kok! Jadi Mama dan Papa gak usah memarahi Kak Praya.” aku
memotong perkataan Mama sebelum Mama mengatakan semua pada Kak Praya tentang
kenapa Mama lebih menyayangiku daripada Kak Praya. Aku tak mau Kak Praya tahu
kalau aku mengidap penyakit kanker.
“Aku
benci semuanya!!!” teriak Kak Praya sambil beranjak pergi.
“Aqila,
sabar ya! Mama tidak tahu harus berbuat apa lagi agar Kak Praya tidak berbuat
seperti itu lagi pada kamu,”
“Tidak
apa-apa Ma. Kak Praya benar, aku memang membuat Kak Praya malu. Dia jadi
dijauhi oleh teman-temannya gara-gara punya adik buta sepertiku. Semua ini
salahku, Ma ..”
“Tidak,
Qila! Ini bukan salah siapa-siapa. Kamu ingat kan, apa yang kamu katakan pada
Mama waktu itu?” timpal Mama.
Aku
mengangguk. “Iya Ma. Semua ini bukan salah siapa-siapa. Semua ini merupakan
takdir Tuhan,”
Aku
merasakan Mama dan Papa memelukku hangat. mungkin ini adalah pelukan Papa dan
Mama yang terakhir kali untukku ...
***
Dua
hari telah berlalu, saat ini aku sedang berada di taman bersama Alsha. Alsha
bilang, matahari hampir terbenam. Tapi, aku tak ingin beranjak pergi dari taman
ini. Kemarin, Papa bilang padaku bahwa aku akan segera mendapat donor kornea
mata. Ah, tapi hidupku juga sudah tidak lama lagi.
“Alsha,
maukah kamu menuliskan surat untukku?” pintaku.
“Untuk
apa?” tanya Alsha.
“Aku
akan memberikannya pada Kak Praya,” jawabku.
“Baiklah
...”
Surat
selesai ditulis. Alsha terdiam beberapa lama. Ia kemudian memelukku dan ia
menangis di pelukanku.
“Kenapa
kamu menangis?” tanyaku keheranan.
“A-aku
t-takut kehilangan kamu,” jawab Alsha tersedu-sedu.
Tak
sadar aku pun meneteskan air mata. Aku pun memeluk Alsha lebih erat lagi. Kini,
tibalah saatnya untuk aku pergi dari dunia ini ...
“Bilang
pada orangtuaku dan Kak Praya bahwa aku menyayangi mereka. Dan tolong, Ikhlaskan
aku ya ...”
“Aqila!!
kamu kenapa?!? Aqila, bangun!!!”
Sementara
itu ....
Kak
Praya baru saja pulang dari rumah temannya. Rumah tampak sepi. Tak ada siapapun
disana.
“Ma,
Pa, kalian dimana?Ma,Pa?Aqila?” panggil Kak Praya berulang kali.
Karena
tak ada yang menjawab, Kak Praya pun masuk ke dalam kamarnya. Ia melemparkan
dirinya ke tempat tidurnya. Kemudian, ia teringat akan kado yang diberikan
Aqila padanya.
“Aku
penasaran juga, isi kado dari Aqila,”
gumam Kak Praya.
Kak
Praya kemudian membukanya. Ia tercengang melihat isi kado pemberian dari Aqila.
Di dalamnya, terdapat sebuah gelas kaca bertuliskan ‘Aqila&Kak Praya’, dan
foto-foto semasa kecil Aqila dan Kak Praya.
“Ternyata,
Aqila masih menyimpannya ...”
KRINGGG
... KRINGGG ...
Telepon
rumah berbunyi. Kak Aqila kemudian bergegas dan segera mengangkat telepon-nya.
Ternyata itu dari Mama.
“Halo
...”
“Halo,
Praya. Syukurlah kamu sudah pulang. Sekarang cepat kamu ke Rumah Sakit Papa.
Lalu, setelah itu masuk ke ruangan nomor 306 lantai 2,”
“Ke
Rumah Sakit Papa, ada apa Ma? Dan kenapa Mama menangis?”
“Aqila
.... me-, ah pokoknya kamu harus segera kesini,”
“I-iya,
aku kesana sekarang.”
Tut
... tut ... tut ...
Sesampainya
di Rumah Sakit di ruangan nomor 306 lantai 2 ...
Kak
Praya bertemu dengan Mama di pintu ruangan nomor 306 di lantai 2. Mama langsung
memeluk erat Kak Praya sambil menangis tersedu-sedu.
“Sebenarnya,
ada apa Ma?” tanya Kak Praya keheranan.
“Aqila
meninggal, Praya!” jawab Mama gemetar.
“A-apa?Aqila
meninggal? Tapi kenapa, Ma?” tanya Kak Aqila lagi dengan tak percaya.
“Sebenarnya,
sejak satu bulan yang lalu dia mengidap kanker parah di otaknya. Dokter
memvonis, umurnya tidak lama lagi. Dan mungkin sekarang tibalah waktunya untuk
Aqila pergi ...” kata Mama tak melanjutkan perkataannya karena tak kuat menahan
air mata.
“Tapi
kenapa, Mama tak pernah memberitahukan aku kalau Aqila mengidap penyakit
kanker?” kata Kak Praya.
Sementara itu, Mama tak menjawabnya. Mama hanya diam saja sambil
terus menangis mengingat Aqila yang sudah tiada di dunia ini.
“Sekarang,
jasad Aqila ada dimana, Ma?” sambung Kak Praya.
“Jasadnya,
masih ada di ruangan ini,”
Kak
Praya masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa. Dia melihat Aqila sudah tak
bernyawa lagi di atas tempat tidur.Kak Praya memeluk Aqila sambil menangis. Kak
Praya menyesal atas apa yang sudah dia lakukan selama ini pada Aqila.
Kemudian,
Alsha datang. Alsha memberikan surat dari Aqila kepada Kak Praya.
“Apa
ini?” tanya Kak Praya.
“Ini
surat dari Aqila sebelum dia meninggal. Dia memintaku untuk menuliskan surat
ini,”
Kak
Praya membacanya sambil menangis. Isi-nya seperti ini :
Dear
Kakakku yang kusayang ....
Saat Kakak membaca surat ini mungkin aku tidak
ada lagi di dunia ini. Kak, maafkan aku ya, karena aku selalu membuat Kakak
kesal dan jengkel. Aku tahu, Kakak membenciku. Tapi sampai kapanpun, aku
tidak akan pernah membenci Kakak, karena Kakak adalah hadiah terindah yang
tuhan berikan buatku. Aku sayang Kakak ...
Dari Adikmu, Aqila.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar